Rabu, 17 Agustus 2016

Upacara Kelahiran Pada Masyarakat Karo

Upacara Kelahiran Pada Masyarakat Karo

1. Pendahuluan

Kelahiran merupakan awal kehidupan di dunia ini, oleh karena itu kelahiran mendapat perhatian yang amat besar pada masyarakat karo. Orang karo beranggapan bahwa permulaan yang baik akan membawa hasil yang baik pula.

Jauh-jauh sebelum seorang wanita hamil melahirkan, orang tua-tua telah mengadakan persediaan, antara lain tambar "obat-obatan".

Baiklah kita perbincangkan beberapa ramuan obat yang ada hubungannya dengan kelahiran ini.

Tambar ngerawis
Pulungena :
Bunga gadung mbelin
Bunga megara

Bunga-bunga enda digatgati, itama ku bas mangkung si risi lau, kenca e i inem

artinya :
Obat melahirkan:
Ramuannya :
Bunga ubi si arang
Bunga Kembang sepatu

Bunga-bunga ini di cincang, ditaruh kedalam mangkuk yang berisi air, sesudah itu airnya diminum.

obat diatas diberikan diminum oleh wanita hamil yang segera akan melahirkan agar proses melahirkan itu berjalan lancar.

Dan segera setelah melahirkan, dibuat pulalah tambar enggo mupur, yaitu obat yang berfungsi memperkuat tubuh wanita yang baru melahirkan yang memang agak lemah. Oleh karena itu perlu sekali untuk memulihkan kesehatannya.

Adapun ramuan obat yang dimaksud diatas sebagai berikut:

Tambar enggo mupur

Pulungenna :
Buah bahing
Buah Kelawas
Buah Kaciwer
Buah Kembiri
Buah Lada
Buah lasuna
Buah pia
Buah Jerango
Buah kuning gajah
Buah Temu
Buah kuning
Buah sabi

Kerina pulungen enda i gilih menuli-mehuli ; itama sitik lau; kenca bage isapuken ku daging si suin e.

Terjemahan:

Obat penguat tubuh wanita yang baru melahirkan

Ramuanya :
Buah Jahe
Buah lengkuas
Buah Cikur
Buah kemiri
Buah merica
Buah bawah putih
Buah bawah merah
Buah Jerangau
Buah kunyit gajah
Buah temu lawak
Buah kunyit
Buah sawi

Semua ramuan ini digiling baik-baik; ditaruh sedikit air; sesudah itu dioleskan ke tubuh orang yang sakit itu.

sering pula terjadi bahwa payudara wanita yang baru melahirkan itu, terutama wanita yang baru pertama melahirkan, tidak atau sukar mengeluarkan air susu. Hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, sebab sang bayi yang baru lahir itu membutuhkannya.

Adapun obat yang diperlukan untuk ini adalah :

Tambar la Erlau cucu.

Ibuat bunga tepu kerbo.
ireme bas lau, kenca e i inem launa.

Terjemahannya :
Obat tidak mempunyai asi

Diambil bunga mombang kerbau.
Direndam di dalam air, sesudah itu diminum airnya.

2. Nitik Wari

Pada saat melahirkan sang bayi, memang banyak wanita yang menjerit-jeri keseakitan. Untuk menghibur maka wanita-wanita tua yang menangani kelahiran itu  berkata : Tahanken kal kadih. bage kin nge. Nelenca bagi si nelen galuh tasak, ntabeh jananh ntebu. Ngutahkensa bagi si ngutahken pungga, merisi janah mesui.
Yang berarti : Tahankan benar-benar kawan. memang begitulah. Menelannya ibarat menelan pisang masak, enak lagi manis. Memuntahkan nya seperti memuntahkan batu asahan, kesat lagi sakit.

Ucapan sang wanita tua itu merupakan suatu kiasan yang kira-kira bermakna, bahwa pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan gembira lupa segala kesusahan, tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu menderita sakit dan pahit getir.

Segera setelah sang bayi lahir kedunia, setelah tali pusatnya dipotong dengan sembilu, setelah dimandikan dan dibungkus dengan kain, maka orang tua-tua meminta bantuan sang guru atau sang duku untuk nitik wari "menentukan hari". Kepada sang dukun ditanyakan apakah bayi itu nunda atau tidak. Yang dimaksud dengan istilah nunda ialah " mendatangkan bahaya kematian bagi ayah atau ibunya".

Sang dukun pun memeriksa bagaimana letak sang bayi waktu lahir serta mencocokannya dengan katika si telupuluh yang terdapat pada masyarakat karo, yaitu :

1. Aditia
2. Suma Pultak
3. Nggara telu wari
4. Budaha
5. Beraspati pultak
6. Cukera enem berngi
7. Belah naik
8. Aditia Naik
9. Suwa siwah
10. Nggara sepuluh
11. Budaha ngadep
12. Beraspati tangkep
13. Cukera lau
14. Belah Purnama
15. Tula
16. Suma cepik
17. Nggara enggo tula
18. Budaha Gok
19. Beraspati sepuluh siwah
20. Cukera duapuluh
21. Belah turun
22. Aditia Turun
23. Suma
24. Nggara si mbelin
25. Budaha Medem
26. Beraspati medem
27. Cukara mate
28. Mate bulan
29. Dalin Bulan
30. Sami rasa

Pada masa dahulu, anak yang nunda itu harus dibuang ke hutan atau dihanyutkan ke sungai, agar ayah atau ibunya selamat dari kematian. Memang hal ini memilukan hati tetapi mana yang lebih berharga: ayah ibu ataukah anak yang baru lahir.

3. Dumbarat.

Segera setelah kelahiran bayi tersebut maka sang ibu biasanya dumbarat "tidur dekat api". Sang ibu beserta sang bayi berbaring dekat api yang telah dipasang di dapur rumah adat atau rumah siwaluh jabu "rumah yang terdiri dari delapan keluarga".

Api ini berfungsi memanasi tubuh sang ibu dan sang bayi. Dumbarat ini biasanya berlangsung selama dua tau tiga minggu. Selama dumbarat ini sang ibu diberi makan bubur nasi yang dibubuhi garam serta merica. Dengan memakan bubur ini diharapkan agar air susu sang ibu menjadi banyak.

Sang ibu yang sedang dumbarat ini dilarang mengadakan gerakan-gerakan yang tidak perlu. Sang ibu tidak boleh pergi ke ture "beranda" atau ke kesain "halaman", kalau tidak perlu sekali.

Untuk melayani sang ibu yang baru melahirkan serta dumbarat ini, biasanya ada wanita tua yang bertindak sebagai penjaga dan pelayan.

4. Tangkal 

Beberapa saat setelah sang bayi lahir, perlu dibuat tangkal menolak bala. Menurut kepercayaan orang karo, begu "hantu" dan begu ganjang   "hantu panjang / hantu tinggi" suka sekali mengganggu sang ibu dan sang bayi.

Untuk menolak serta menghindarkan gangguan hantu-hantu itu, maka dibuatlah beberapa ikatan yang terdiri dari daun kalinjuhang, tujung batang lidi dan daun sangka sempilet. Bahan-bahan tersebut diikat dengan benang benalu  "suatu benang yang berwarna merah-hitam-putih". Kemudian disemuri dengan belopenurungi   "suatu ramuan yang terdiri dari sirih, bawah merah, bawah putih, merica, gambir, dan kapur". Banyaknya ikatan tersebut tergantung pada keperluan.

Dibagian tengah di atas tiap-tiap pintu rumah tempat lahir sang bayi itu, digantungkan sebuat ikatan tersebut. Dengan berbuat demikian, orang percaya bahwa hantu-hantu yang ingin merenggut nyawa sang ibu dan sang bayi, tidak berani lagi mendekat.

Sebuah ikatan ditempatkan di dekat wanita yang dumbarat itu. Tiap kali sang wanita turun dari rumah, baik pada siang hari ataupun malam hari, maka ikatan tersebut harus tetap ada ditangannya, agar dia terhindar dari malapetaka.

Menurut kepercayaan orang karo, purih tonggal   "lidi tunggal" yang sudah dimanterai oleh sang dukun, mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengusir begu  dan begu ganjang yang sangat ganas itu, sehingga tidak berani lagi mendekati serta menyiksa sang ibu beserta sang bayi yang baru lahir itu. Demikianlah setiap kali sang ibu ada keperluan pada malam hari keluar rumah, misalnya ke ture  "beranda rumah adat" maka terlebih dahulu dilemparkan bara api keluar rumah  atau seseorang wanita lain disuruh terlebih dahulu ke luar rumah membawa api, sebagai alat untuk mengusir begu dan  begu ganjang. Purih tonggal  itu harus tetap dibawa oleh sang ibu yang baru melahirkan itu, sampai upacara pejuma-jumaken selesai.

5. Petelayoken

Paling lambat delapan hari setelah sang bayi lahir kedunia, diadakanlah upacara adat petelayoken, yaitu upacara membawa sang ibu dan sang bayi ke sungai.

Sarana-sarana atau bahan-bahan yang harus disediakan sebelum turun ke sungai, antara lain :

a. Sebuah tongkat bagi sang ibu yang baru melahirkan itu dan tongkat ini diperbuat dari batang beski "pimping" yang diukir dengan ukiran tertentu atau diperbuat dari pangguh  "bagian yang keras dari pohon enau". Tongkat ini harus terlebih dahulu dimaterai oleh sang dukun. Tongkat ini dipakai oleh sang ibu ketika turun ke sungai.

b. Purih Tonggal  "lidi tunggal".
c. Dua jenis sirih, yaitu belo cawir  "sirih yang baik" dan belo baja minak  "sirih bercampur daun baja dan minyak kelapa" yang banyaknya menurut kebutuhan.
d. Pundang,  yaitu sobekan-sobekan kain yang dipilin dan dibakar sehingga menimbulkan asap dan banyaknya menurut keperluan.
e. Abu dapur yang ditaruh dalam daun keladi.
f. Gantang beru-beru, yaitu suatu takaran yang terbuat dari ruas bambu dan gantang beru-beru ini diisi dengan pangir   "lahir".
g. Jerango  "jerangau" yang telah dimaterai oleh sang dukun, untuk menakut-nakuti serta mengusir begu ganjang.

Satu dari setiap jenis yang tersebut pada  c, d, e   diatas, diletakkan pada setiap simpang jalan yang terdapat pada sepanjang  jalan menuju sungai. Fungsinya adalah untuk menghalau begu dan begu ganjang, agar si ibu dan sang bayi terhindar dari gangguannya.

Sang bayi harus digendong ke suangai. Kalau sang bayi berjenis kelamin pria, maka yang menggendong haruslah maminya, yaitu istri dari kalimbubu, istri dari saudara laki-laki wanita yang bersalin itu. Menurut adat karo, anak dilaki  "anak laki-laki" dipandang sebagai tuah atau rezeki bagi pihak kalimbubu  "pemberi dara". Menurut adat karo, bila anak laki-laki tersebut telah besar dan dewasa, maka dia berhak mengawini puteri kalimbubu. Dia adalah pelayan bagi pihak kalimbubu, dan dengan berlangsungnya perkawinannya dengan puteri kalimbubu, maka kekerabatan tetap erat.

Kalau sang bayi itu berjenis kelamin wanita, maka yang menggendongnya turun ke sungai adalah bibinya, yaitu saudara perempuan dari ayah sang bayi. Menurut adat karo, anak diberu  "anak perempuan" adalah tuah atau rezeki pihak anak beru  "penerima dara". Anak perempuan ini kelak akan menjadi suruh-suruhan atau pelayan sang bibi. Dan dapat dikawinkan dengan putera sang bibi, untuk memperkuat tali kekerabatan yang sudah ada.

Dikala matawari nangkih   "matahari naik", rombongan pun mulailah berjalan turun ke sungai. Adapun susunan arak-arakan itu sebagai berikut: Dimuka sekali berjalanlah sang dukun sebagai perintis jalan dan dibelakangnya menyusul mami (kalau sang bayi itu pria), kemudian ibu sang bayi diiringi kaum kerabat. Tetapi kalau sang bayi adalah wanita, maka dibelakang sang dukun berjalanlah ibu sang bayi diikuti oleh bibi yang menggendong bayi itu, diiringi oleh kaum kerabat.

Turun ke sungai dilangsungkan di waktu matawari nangkih  "matawari naik"  dengan harapan agar nangkih tuah ras kinibayaken  "naik rezeki dan kekayaan".

Sesampainya di sungai, maka ibu, bayi, dukun, bidan serta semua yang ikut pun mandilah dan berlangir. Setelah selesai mandi dan berlangir merekapun pulanglah ke rumah. Sewaktu berjalan pulang ke rumah , susunan arakan sama saja, kecuali sang dukun yang berjalan dibelakang. Dukun berjalan dibelakang sekali untuk menjaga gangguan serta serangan begu dan begu ganjang terhadap sang ibu dan sang bayi.

Setiba di rumah sang dukun menaruh sirip ikan belang mata  "lebar mata / mata besar"  berserta belo cawir dan belo baja minak ditungku tengah dapur rumah adat dengan maksud agar rezeki dapur jangan berkurang bahkkan bertambah. Hal ini dilakukan sebab sang ibu yang baru melahirkan itu dumbarat beberapa lama dekat dapur itu. Dengan berbuat demikian, dewa dapur tidak merasa dinodai tempatnya dan tidak merasa kecil hati apalagi sakit hati.

Sepulang dari sungai mereka pun makan bersama semua, karena memang capek dan tentu saja merasa lapar. Lauk pauk atau kawan nasi utama diwajibkan ikan belang mata. Rasa ikan tersebut asin. Dengan memakan ikan yang asin itu terkandunglah harapan gelah masin kata ibelasken anak e  "agar kata-kata yang diucapkan anak itu dipercayai, dihargai serta dituruti oleh orang lain" pada masa mendatang.

Setelah selesai makan, dimulailah memilih nama bagi sang bayi itu. Kalau menurut sang dukun nama itu adalah baik, maka ditetapkanlah serta diumumkan kepada para hadirin dengan harapan agar mereka pun masing-masing menyiarkannya kepada orang lain dikampung itu.

6. Pejuma-jumaken

Empat atau lima hari setelah petelayoken, anak itu dibawa ke ladang atau kesawah. Anak itu diperkenalkan dengan dasar penghidupan, yaitu pertanian.

Acara adat ini dalam bahasa karo disebut pejuma-jumaken atau erjuma tiga.
Baru setelah pejuma-jumaken ini sang anak dapat di bawa ke tempat-tempat lain atau ke kampung-kampung lain.

Dengan cara peruma-jumaken ini diharapkan agar sang anak kelak dapat menghargai sawah ladang serta rajin menggarapnya demi kehidupan yang lebih baik.

7. Iket

Kemudian, setelah upacara pejuma-jumaken itu, maka orang tuanya mengantarkan anak tersebut ke rumah kalimbubu (kalau anak itu pria) atau ke rumah anakberu (kalau anak itu wanita).

Kalimbubu atau anak beru yang didatangi itu merasa sangat berbahagia. Biasanya mereka memberikan duit serpi  "uang logam" kepada anak itu yang mengandung makna iket  "ikat", supaya anak itu selalu sehat walafiat, jangan sakit-sakitan. Di samping duit serpi juga diberikan uis perembah  "kain penggendong" yang mengandung pengertian agar anak itu  nteguh iembah   "kuat digendong", lanjut serta panjang umurnya , tidak sakit-sakit.

8. Ergunting

Beberapa lama kemudian, setelah gigi anak itu tumbuh, ditetapkanlah hari buat ergunting  "memotong rambut". Harus diingat benar -benar bahwa hari ergunting tidak boleh bersamaan dengan hari lahirnya dulu, sebab jika bersamaan dapat menimbulkan akibat buruk.

Kalau anak itu seorang pria, maka yang akan memotong rambutnya adalah mamanya, yaitu saudara laki-laki ibu anak itu.
Kalau anak itu seorang wanita, maka yang memotong rambutnya adalah bengkilanya, yaitu suami saudara perempuan ayah anak itu.

Ada sesuatu kepercayaan pada masyarakat karo, bahwa kalau pemotongan rambut yang pertama sekali tidak dilakukan oleh mama atau bengkila, mungkin sekali anak itu akan selalu menderita sakit, sebab tendi buk   "roha rambut" anak itu akan merasa dihina.

Kalau pemotongan rambut pertama kali telah dilakukan oleh mama atau bengkila, maka pemotongan  rambut selanjutnya dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tidak akan berakibat apa-apa, apalagi akibat buruk.


daftar bacaan :
1. Romer, Dr.  1908 : Bijdrage tot de Geneeskunst der Karo-Bataks.  T.B.G deel 50; pp 205-287
2. Tambun, P. 1952 : Adat Istiadat Karo, Jakarta, Balai Pustaka.


Sumber : Prof. DR. Henry Guntur  Tarigan  : Percikan Budaya Karo, diterbitkan oleh yayasan Merga silima, dicetak oleh PT. Kesaint Blanc Indah Corp.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Ordered List

Sample Text

Definition List